Yang membuat video itu menyedot penonton adalah gaya berbahasa Vicky yang gado-gado, mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Kedua bahasa itu tidak dipergunakan dengan kaidah yang baku sehingga akhirnya terkesan sok pintar. Pada saat yang sama, ia tidak mengerti dengan apa yang dia omongkan.
Dalam satu menit itu, Vicky melontarkan istilah yang unik, tetapi janggal, seperti kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, harmonisisasi, statusisasi kemakmuran, dan labil ekonomi. Penggunaan bahasa Inggris juga terdengar janggal, seperti menyebut usianya "twenty nine my age".Video tersebut menyebar luas di media sosial, dibicarakan di Facebook, Twitter, dan di forum seperti Kaskus. Dalam dua hari ini, Vicky Prasetyo tercatat telah disebut 7.500 kali. Tidak hanya pengguna Twitter biasa, para kesohor pun ikut berkomentar mengenai gaya bahasa yang dipakai Vicky, seperti Julia Perez melalui akun @juliaperrez dan gitaris Satriyo Yudi Wahono yang lebih dikenal dengan nama Piyu.
Gaya bahasa Vicky lantas ditiru di Twitter dalam konteks candaan. Melalui akun @marischkaprue, bloger wisata Marischka Prudence pun berkicau, ”Statusisasi perut lapar jam segini itu pasti karna konspirasi kemakmuran indomie deh..”.
Budayawan Goenawan Mohamad membuat istilah ”vickinisasi” untuk fenomena ini dan memandangnya sebagai puncak gunung es dari gejala kemalasan berbahasa, baik menelaah maupun menerjemahkan kata asing.
Saya senang cara bicara Vicky dicemooh ramai-ramai. Supaya orang tak lagi omong asal bunyi dan menulis tanpa berpikir,” ujarnya melalui akun @gm_gm.
Penyair Sitok Srengenge melalui akun @1srengenge menulis, ”Akhirnya saya sempat lihat wawancara Vicky. Hehe bahasanya tak jauh beda dg banyak pejabat yg sok intelek tp amburadul.
Sutradara Iman Brotoseno menyebut gaya bahasa seperti Vicky sudah lama diterapkan di dunia politik. Misalnya ada reinstall Indonesia atau Restorasi Indonesia.
Sebelum mengolok-olok gaya bahasa Vicky, ada baiknya kita berkaca bahwa gaya berbahasa seperti itu kerap dijumpai dalam diri pejabat publik kita. Barangkali merekalah pengikut sindrom ”vickinisasi” itu. (Didit Putra Erlangga Rahardjo)